Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Menjaga Perut

with 38 comments


Laila tidur tak bergerak di sofa ruang tengah. Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak beriak. Wajahnya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak. Kulit Laila memang putih dan saat tidur mukanya kelihatan semakin bersih.

Aku mendekat, kurapikan kakinya hati-hati. Aku tersenyum lega merasa kehangatan mengalir di sana.

Di luar, hari berlayar menuju petang seperti usia. Bayang pohon memanjang di halaman berlawanan dengan bayang pagi. Suara-suara pembantu senyap di belakang. Telepon bisu di sudut ruang. Di jalan agak jauh di depan rumah kendaraan lalu-lalang, bunyinya menyusup masuk usai berenang meniti daun dan bunga-bunga di halaman. Dibawanya juga harum kenanga ke dalam ruangan.

Kuamati wajah Laila sekali lagi, balik ke kursi, menonton tivi. Tidak ada yang patut. Pisah-cerai artis. Heboh, aneh, bagai pasangan hidup hanya mainan. Atau baju, sepatu, dapat kau ganti kapan mau. Tapi aku terus menonton. Siapa tahu Man ada lagi di tivi. Atau telepon berbunyi. Lalu Armin, Arni, berkabar mengenai abang mereka.

Di saluran lain film kartun, masak-memasak. Ah. Masakan Laila tentu mampu bersaing kalau tak lebih sedap. Tiga puluh delapan tahun seleraku dimanja, asam urat kolesterol pun tak singgah. Cuma umur, terus menjulur; meretas garis dekat ke batas.

”Oh, hebat ini! Sedap. Luar biasa!” Semua teman pun memuji tiap kali kujamu makan di rumah, dulu, sebelum pensiun–dan jumlah sahabat juga masih lengkap.

Macam mana tak hebat luar biasa. Dari kecil Laila suka dan terlatih memasak. Bakatnya turun dari nenek serta ibunya, dia asah tiap hari. ”Pokoknya, masakan Laila itu hm!” puji kakak-kakak perempuan ketika aku disuruh pulang dengan alasan ibu sakit, tahunya mau dijodohkan. Umurku 30 waktu itu. Keluarga cemas aku tidak dapat jodoh di rantau orang, bujang lapuk seumur hidup bak kayu dilahap rayap.

Kepalang basah, kutantang mereka, para kakak. ”Hm, itu apa?”

”Macam mana kau ini. Variatif, inovatif, sedap!”

”Dibanding rumah makan Famili Andalas?”

”Jangan mencemooh kau. Ibu saja takjub, amat berharap Laila jadi menantu.”

Ayah ikut-ikutan. Saat kami berdua, diajaknya aku bicara, istilah dia, ”obrolan antarlelaki”. Bahwa cinta seorang lelaki diawali dari tengah, dari perut, naik ke dada, baru turun ke bawah. Tak sebaliknya: dari dada atau hati dulu macam anak baru baliq. Apalagi dari bagian tubuh bawah.

”Mengapa begitu?” tanyaku.

”Karena perut itu pusat, keseimbangan. Penyakit asalnya dari perut. Pun nafsu, keserakahan. Karena itu, perut harus kita jaga dengan makanan sehat sekaligus sedap. Karena itu lelaki memerlukan perempuan yang campin memasak, cerdas, baik, selain cantik. Ya, seperti ibumu. Juga, Laila.”

”Memang kalau dari atas dulu, dari hati macam anak baru baliq, kenapa?”

“Cinta kau mudah guyah,” ujar ayah. ”Dada itu emosi, perasaan. Dan perasaan rentan terhadap cuaca, mudah berubah.”

”Kalau dari bawah dulu?”

Tiba-tiba ayah melotot. ”Dungunya!” dia bilang. ”Dari tadi aku kias-kias tidak paham. Bejat, tahu. Juga tolol. Kau bakalan terjebak menolak kodrat sebagai manusia, mendekat ke hewan. Kau akan terus mencari, tak puas-puas, bak minum air laut!”

”Oh. Eh, pernah Ayah minum air laut? Maksudku, waktu muda.”

”Mana sudi aku!” Ayah kembali membelalak. ”Kau? Mau? Sudah?”

”Ah, aku tak tahan lelah, Yah,” kubilang.

Muka ayah cerah. ”Makanya, lekas kau belajar kenal dengan Laila!” katanya. Kemudian aku tahu, memang dia paling bersemangat menjodohkan aku dengan Laila.

***

LAILA bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dia lihat aku sejenak, lalu beralih melihat tivi. ”Ada lagi?” tanyanya. Suaranya lirih seperti bisik. Matanya redup, hatiku teriris.

”Tidak.” Ya, tambahku tanpa suara. Cukup sekali anak kami, Man, terlihat di tivi diapit pengacara, aparat kepolisian. Jangan lagi tampak, terlebih oleh Laila. Anak, setelah dewasa, beranak pula, memang tidak lagi di bawah-asuh orangtua. Tapi, siapa dapat memupus hubungan anak-orangtua? Siapa mampu mengelak dari derita anak?

”Arman dan Arni?”

”Mereka juga tidak menelepon. Pindah ke kamar, ya. Mereka tak telepon tentu karena tidak ada yang perlu dikabarkan.”

Aku masih ingin di sini.”

”Kalau begitu tidurlah kembali. Dokter menyuruhmu istirahat. Tuhan juga.”

Ia menyenyumiku. Manis-lembut tetap senyum yang dulu. ”Abang tahu Tuhan menyuruhku istirahat,” dia bilang. Matanya berbinar, mengerdipkan harapan.

”Tentu.” Kutinggalkan kursi, aku dekati dia. ”Ia suruh kita lebih dulu menjaga diri, sebelum orang lain. Dia larang kita mencelakai diri.”

Tapi Man bukan orang lain, Abang.”

”Anak kita. Tapi bukan diri kita. Tidurlah.”

Laila menarik napas, telentang lagi. Matanya perlahan terkatup. Bulu matanya lentik dilindung alis lengkung halus. Kulitnya putih, bersih. Tubuhnya masih ramping. Aku kecup keningnya dengan sayang. Serasa baru kemarin kami menjadi pengantin.

Tak lima menit, matanya terbuka pula. ”Aku ingat ayah Abang,” dia bilang.

”Ya, ya. Aku mengerti. Tidurlah kembali. Istirahat.”

Dia sangat percaya aku bisa menjaga perut Abang. Dan, tak sedebu pun yang bukan hak Abang bawa pulang dulu, waktu masih aktif.”

”Ya. Tentu. Lina, istri Man, juga campin memasak sepertimu.”

Tapi, mungkinkah dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya?”

”Kau pun sibuk dulu, mengajar. Kalaupun sibuk tentu dia pesan pembantu apa yang mesti dimasak. Dia ajari mereka memasak, agar yang disantap tidak hanya sedap tetapi juga sehat.”

”Kalau begitu, kenapa Man.”

”Tidur sajalah kembali. Istirahatlah,” kubilang.

”Mataku tak bisa pejam, Abang. Pikiranku tak dapat lelap.”

”Tetapi tubuhmu membutuhkan. Jantungmu. Dokter menyuruhmu istirahat.”

”Ya, Tuhan juga.” Ia senyum. ”Tapi, menurut Abang, apakah Man tidak selalu makan di rumah?”

”Aku pun sesekali makan di lepau dulu. Kau tahu itu. Di kota macam Jakarta, tak mungkin orang makan siang di rumah lalu kembali ke kantor. Kota itu bukan lagi Jakarta tempo dulu, waktu kita tinggal di situ.”

Laila menarik napas pula. Lapat-lapat kudengar suara kendaraan menyusup ke dalam ruang, usai berenang meniti daun dan bunga di halaman. Dia bawa serta harum kenanga yang tumbuh di pekarangan. Dan, hari terus berlayar dekat ke petang; seperti umur, bagai usia. Siapa lebih dulu yang akan tiba di senja, lalu malam, di antara kami berdua?

Aku bangkit dari kursi, mendekati Laila. ”Tidurlah kembali. Istirahat,” kataku membujuk. ”Atau, kusuruh Sinah bikin teh? Hangat-hangat. Mau?”

”Aku hanya ingin dekat Abang. Anak-anak, menantu, dan juga cucu.”

”Aku di dekatmu. Aku selalu bersamamu. Jika sembuh nanti, pekan depan kita tengok mereka ke Jakarta.”

”Mereka dulu anak-anak yang manis. Man, Armin, Arni. Man elok laku, sadar benar jadi sulung. Selalu dia mengalah dan bertanggung jawab kepada adik-adiknya.”

”Dia belum tentu bersalah,” kataku. ”Baru dipanggil. Diperiksa polisi, sebagai saksi. Bukan terdakwa.”

Mata Laila berbinar lagi, mengerdipkan harapan. Dia juga senyum kepadaku. Lembut-manis tetap seperti dulu. ”Abang tahu,” dia bilang, memegang tanganku. ”Itu yang membuatku dulu tidak ragu menerima Abang waktu kita dijodohkan. Ketegaran, dan kesabaran Abang.”

”Bagiku kecantikan dan ke-campin-anmu memasak. Tidurlah sekarang, kau perlu istirahat.”

Perlahan, matanya pejam kembali. Satu, dua, lima, sepuluh menit berlalu.

***

LAILA masih tidur di sofa ruang tengah. Angin tak sampai. Hanya lapat-lapat suara kendaraan, agak jauh di depan, di jalan. Juga harum kenanga. Dan hari tak henti berenang dalam petang. Aku masih duduk di kursi mengamati Laila, sesekali melihat ke tivi. Alangkah lengang petang. Betapa sunyi siang di ujung hari.

Aku dengar suara galau, kudengar bisik-bisik mengimbau. Adakah anak-anak, terutama Man, tahu, bahwa ayahnya, lelaki tua ini tak sesabar dan setegar yang dilihat ibunya? Adakah dia tahu ada yang remuk di dalam, justru di penghujung usia?

Apa kitanya yang kerap ia santap di luar rumah, lalu menjelma nafsu serakah, mengalir dalam darah? Mengapa tak ia jaga lambungnya, perutnya, seperti ayah, juga kakeknya? Seberapa banyak, seberapa lama, seberapa parah gerangan yang ia lahap di luar, sampai-sampai yang berasal dari masakan ibunya di masa kecil, atau dari istrinya kini, seolah tidak berbekas?

Tak lama lagi, seiring tiba senja, stasiun-stasiun tivi akan berlomba menyiarkan berita. Umumnya mengenai korupsi. Apakah anak itu, Man, bakal muncul lagi di sana; seperti kemarin, dan jantung ibunya bermasalah, ayahnya remuk di dalam–debarnya serasa menghancur tulang?

Aku alihkan mata dari tivi, menengok ke arah Laila. Dia masih tidur di sofa, di ruang tengah, tak bergerak. Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak beriak. Mukanya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak, tidak. Kulit Laila memang putih, bersih, dan di saat tidur mukanya tampak semakin putih. Namun aku mendekat juga. Kuraba keningnya, lalu merasa lega karena kehangatan mengalir di sana.

Di luar, hari terus berenang menyelesaikan petang. Seperti umur, serupa usia; tidak henti menarik garis menuju batas. Tivi memainkan gambar-gambar. Tik-tok jam di dinding. Sesaat lagi berita-berita. Dadaku kian berdebar. Aku tengok berganti-ganti dari Laila ke tivi, dari tivi ke Laila.

Lalu telepon berdering. Seolah rangkaian gelas-piring dibanting. Aku bangkit, bergegas. Bergegas!

”Halo? Bapak?”

”Ya. Arni? Ya, ini Bapak. Ada apa?”

Tak ada lagi kata. Hanya sedu tertahan. Di sana, di ibu kota negara, di Jakarta. Dan dari pojok ruang kulihat Laila tidur di sofa, tak bergerak. Dadanya bak tak beriak. Mukanya putih-bersih. Atau pucat? Tidak, tidak. Kulit Laila memang bersih-putih dan saat tidur mukanya terlihat makin putih. Tapi aku ingin meraba keningnya, memegang tangannya, menyentuh jarinya. Aku ingin merasa kehangatan tetap mengalir di sana.

(saat bercakap denganmu)
Jakarta, Februari, 2010

Written by tukang kliping

11 April 2010 pada 12:09

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

38 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. sedap nian untain kata-katamu bapak kudap, nak!

    toni

    11 April 2010 at 13:23

    • kudap siapa?

      Febrian

      10 November 2016 at 14:32

  2. Salam hangat selalu,
    Saya membaca cerita di atas cukup dalam(karena memang harus mendalami). Sedikit banyak bung Adek Alwi ingin membedah peranan perut dalam pandangan fiktif yang besifat serakah, rakus dan lapar untuk di kaitkan dengan realita kerakusan perut di balik epilog koruptor. Saya rasa belum terungkap apakah anaknya terkait kasus korupsi hingga ‘mejeng’ di TV. Judul yang kurang konsisten terhadap isi cerita. Tapi sangat menarik(saya temukan unsur estetika) untuk di bahas dan layak untuk menjadi bahan perenungan bahwa perut perlu di jaga dengan makanan sehat. Jangan sampai perut meminta lebih dari makanan di luar kesehatan(menimbulkan artian rakus, nafsu serakah, yang mengalir dalam darah, lambung dst) yang menyebabkan gangguan kesehatan perut dalam balutan keserakahan.
    Sudah saya katakan tadi bahwa judul kurang konsisten terhadap cerita, karena secara garis besar hanya mengulas perbincangan tokoh utama dengan Laila( ternyata nama Laila sering di jadikan referensi beberapa cerpenis). Dilanjutkan hujaman rasa khawatir tentang salah satu anak tokoh utama yang tersandung kasus kesehatan perut(korupsi). Saya cukup kagum dengan diksi bahasa yang di benamkan dalam cerita, tapi saya nilai konflik cerita kurang pekat. Di ujung cerita di torehkan beberapa kalimat yang terkesan membingungkan( tapi menarik bagi saya) karena tidak di tutup dengan kesimpulan dan di biarkan mengambang di awang pemikiran pembaca: “Hallo? Bapak?”. Lalu di jawab “Ya Arni? Ya, ini Bapak. Ada Apa?” lanjutannya apa ya bung? Ceritanya belum tuntas dan di sinilah teka-teki itu timbul( apakah Arman telah menjadi terdakwa? Hanya penulis yang tahu).
    Pertama, konfigurasi pesan yang ingin di petik pembaca sangat tinggi karena buah pemikiran dari pohon yang penulis tanam masih belum bisa terjangkau oleh tangan imajinasi pembaca. Perlu menunggu buah pemikiran itu matang(dengan sungguh-sungguh membaca untuk mengungkap pesan) lalu di petik dan di kupas dengan pisau hati dan di santap nikmat dalam mulut untuk merasakan kecapan rasa gurihnya pesan dan masuk dalam perut pembaca, lalu kenyang dengan perasaan puas.
    Kedua, saya salut dengan diksi bahasa penulis. Begitu ringan, tapi tetap membenamkan metapora yang asyik sekali untuk di renungi. Meskipun terkesan klise dan hanya membicarakan hal-hal yang remeh temeh di ruang tengah.
    Ketiga, Cerita hanya sekedar obrolan sederhana antara tokoh utama dan Laila, di awali tentang pemikiran yang melanglang buana dari benak pelaku yang membahas kekaguman terhadap sang istri yang ‘notabene’ cantik, campin memasak, dan selalu menghidangkan makanan yang sedap serta sehat. Konfliknya hanya berkutat pada hal itu dan di lanjutkan keterkaitan masakan sedap yang masuk ke perut tokoh utama dan anak-anaknya. Jangan sampai makanan yang telah di sajikan dengan sehat meminta lagi makanan lain hingga menimbulkan fiktif rakus dari artian makanan yang tak sehat karena kerakusan perut(maksudnya perut yang rakus kayak koruptor, itu yang saya tangkap dari judul cerpen ‘Menjaga Perut’). Terlepas dari pandangan saya, penulis dan juga pembaca yang budiman bisa menilai sendiri kiasan makna dari lodeh cerita yang di masak dan telah dihidangkan oleh bung Adek Alwi.
    Keempat, Seandainya bung Adek Alwi tak lihai dalam mengolah kata, maka cerpennya akan sangat datar sekali(nilai plus disini), karena konfliknya benar-benar kurang merembes di perasaan para pembaca yang budiman. Pesannya cukup sulit di cerna, jika penulis hanya membahas daya imaji sebuah kiasan ‘Menjaga Perut’ dengan urutan benang merah yang mengaitkan kerakusan perut. Saya yakin pembaca di ajak berfikir tentang ‘Menjaga Perut’ yang di tinjau dari kesehatan dan kiasan.
    Kelima, ceritanya belum menyentuh dan terkesan monoton pada obrolan antara tokoh utama dengan Laila, maupun obrolan tokoh utama dengan benaknya sendiri. Jadi, cerita di atas cukup rumit untuk di telaah di segi pesan maupun konteks cerita, akan tetapi menjadikan hal itu menarik untuk di sampaikan ke pembaca yang budiman tentang perlunya ‘Menjaga Perut’.
    Keenam, cerita cenderung kurang imajis. Hal ini dimungkinkan orientasi pemikiran penulis yang ingin mengupas pesan dari cerita yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Sekali lagi, saya berpandangan cerita di atas kurang menyentak dan kurang imajis. Ide cerita di atas sering saya temukan di Koran-koran dan kehidupan sehari-hari, dan akan jadi lebih heboh jika tertuang dalam media cerpen.
    Kejutuh, Saya menantikan intrik yang lebih mendebarkan dalam kisi cerita, rona yang lebih pekat dalam konflik dan tentunya pesan yang bisa di petik oleh saya dan juga para pembaca yang budiman. Terus terang saya lebih menyukai cerita yang absurd, tapi masih bisa di tebak pesan-pesan yang di benamkan. Sebuah cerita yang luar biasa lain dan membawa kelegitan, keharuman, serta kepuasan. Dalam cerita di atas saya belum menemukan fiktif filmis, imajinasi yang lain dari pada yang lain, dan saya juga belum menemukan cerita yang mendebarkan. Saya menantikan karya-karya Anda yang lebih imajis dan kental dengan pesan moralitas, sehingga saya di bawa berkelana dalam pemikiran serta pengetahuan Anda. Sukses berkarya selalu.

    Tova Zen

    11 April 2010 at 18:48

    • Terima Kasih Bang Tova Zen

      Febrian

      10 November 2016 at 14:49

  3. ah, cerpen itu bagai wajah perempuan, jika dianalisa terlalu mendalam jadi kaku, dan tidak menarik. cerpen hanya indah dinikmati saja.. bolehkah saya baca cerpen mas tova? mungkin saya tidak gaul dg tidak mengenal mas tova.. tp dari analisanya, sepertinya cerpen mas tova sangat sempurna,,

    grom

    12 April 2010 at 09:21

  4. saya suka cerpen Bang Adek Alwi ini..

    Rama Dira J

    12 April 2010 at 09:24

  5. Salam, Bang Adek, pa kabar? Cerpen ini seronce dengan ala bidzikrillah tatmainnul qulub. Menghibur dan memperkaya batin. Salam…

    Aba Mardjani

    12 April 2010 at 14:14

  6. cerpennya bagus tuh…

    ryodimas

    12 April 2010 at 18:22

  7. Suka sama diksinya, tapi ending-nya kayaknya kurang ngena 😉

    Semendo

    13 April 2010 at 07:39

    • Kurang ngena? apaan tuh? bahasa prancis? kwkwkwkwkw

      Febrian

      10 November 2016 at 14:34

  8. Cerpen yang bagus. Inilah salah satu contoh cerpen yang tak perlu cara bercerita yang meledak-ledak atau diksi yang berlebihan untuk mencapai kedalaman. Untuk bisa membuat cerpen seperti ini, memang butuh pengalaman panjang dalam menulis (sepengetahuan saya Adek Alwi sudah menulis lama, dimulai dari cerita-cerita remaja). Jika sejak Januari kita kecewa belum ada cerpen yang baik di Kompas untuk tahun 2010 ini maka kini (eureka!) kita telah menemukannya. Perhatikan bagaimana pengarang tidak tergoda mengemukakan persoalan besar melalui hal besar (korupsi), tetapi malah melalui hal remeh seperti makanan. Simbol perut sungguh sangat mengena.

    bhoernomo

    13 April 2010 at 09:35

  9. Demi urusan perut begitu banyak orang bilang menuding hal-hal yang hanya mencari keuntungan belaka. Hal yang terasa menggejala pada negeri ini. Perbuatan yang sering dilakukan orang-orang melarat, ternyata saat ini banyak dilakukan juga para pejabat. Sayang….
    Cerpen pada dekade reformasi seperti kehilangan daya tajamnya untuk menusuk, mengiris atau menikam kekacauan moral parapenguasa. Hal seperti ini sangat terasa pada era orde baru. Dan, membaca karya Bung Adik Alwi, terasa hal ini menjadi permulaan itu. Kita tunggu tikaman-tikaman berikut, hingga cerpen tak hanya sekedar cerita, permainan kata dan buah dari pengembaraan angan penulis. (maturnuwun – penggiat sastra jawa dari klaten)

    Yan Tohari

    13 April 2010 at 14:18

  10. Diksi dan metafora anda mirip hasan al-banna.. Sy suka bgt! Cerpen anda menyentuh relung jiwa.inikah cerita gayus tambunan?

    Giy

    13 April 2010 at 22:36

  11. Layaknya menikmati makan siang secara perlahan-lahan dan santai. Jangan terburu-buru, resapi bau dan aromanya, kecapi rasa dan gurihnya. Hmmm

    Cerpen di atas alurnya sangat enak untuk diajak santai… Bagus.. Dan membuat relaks.. Kita tidak perlu terburu-buru untuk mengejar ending, tetapi menikmati kata-perkata dengan diksi yang mengajak kita untuk berpikir.

    Salut…

    reganleonardus

    14 April 2010 at 11:55

  12. sederhana
    mengena
    nikmat dibaca

    pwnp98

    14 April 2010 at 19:04

  13. Apakah cerpen Pramoedya Ananta Toer, Suman Hs dan Nasjah Djamin pernah dimuat di Kompas dan terpilih sebagai cerpen terbaik?

    ibe Komadu

    ibeKomadu

    15 April 2010 at 12:59

  14. Salah syarat agar seorang penulis cerpen bisa disebut hebat di Indonesia adalah cerpennya pernah dimuat di Kompas. Mengapa? :
    1.Karena Kompas adalah media berskala nasional yang paling luas penyebarannya bahkan sampai ke pedalaman pun ke luar negeri.
    2.sebab Kompas satu-satunya media yang paling menghargai jasa cerpenis, sejak 1992 tiap tahun ada pemilihan cerpen terbaik. Honornya juga,lumayanlah. Juga kadang mengadakan lomba/sayembara menulis cerpen.Ada juga buku kumpulan cerpen terbaik 1970-1980,mudah-mudahan ada juga 1980-1991
    3.rutin tiap minggu menayangkan seperti beberapa media lain,paling kecuali hari raya saja tak ada.
    4.Kompas adalah koran terlama yang masih eksis memberi ruang kepada orang-orang yang ingin menyumbangkan cerpennya untuk kemajuan sastra dan seni Indonesia. Memang ada Sinar Harapan yg lebih duluan hadir tapi Sinar Harapan sempat dibredel beberapa tahun. Ada juga Majalah sastra Horison yang sempat tersendat-sendat perjalanannya. Dan jadilah Kompas sebagai Koran nasional paling banyak memuat cerpen hingga sekarang. (tidak termasuk cerpen yang sudah pernah dimuat di media lain/cerpen terjemahan)
    5.Meski berskala nasional tapi Kompas menerima cerpen berbau lokal atau luar negeri

    Untung ada Kompas, Hidup Kompas!! Hidup cerpen Indonesia !!

    Dari sahabat kalian di sebuah desa terpencil Maluku yang kebetulan sedang berada di Ambon.
    Edgar

    edgar

    15 April 2010 at 13:47

  15. baguus… kalimatnya ringkas…renyah dan penuh diksi, repetisi dan arti

    seif salim

    16 April 2010 at 02:56

  16. jantungku hampir berhenti.. bagus!

    jati

    16 April 2010 at 21:43

  17. Bang Adek Alwi…. Aku selalu memanggilnya begitu. Kami sekarang tinggal di Lenteng. Dia di dekat stasiun kampus Pancasila dan saya di Stasiun Lenteng. 2 buah bukunya, saya yang buat ilustrasi covernya. Dan ia pernah lari pagi sambil membawa honor cover yang saya buat untuknya.

    Adek Alwi adalah guru saya sejak ia menjadi Pemred majalah Anita Cemerlang. Selama menjadi Pemred, ia banyak memberikan pelajaran bagi para penulis baru.
    Bahkan beberapa penulis ditampung di rumahnya secara gratis….

    Apa hubungannya dengan ceritanya di atas mengeni sepasang suami-istri yang menjelang senja? Saya hanya ingin meneruskan pendapat HB Jassin, seorang kritikus kita, bahwa karya atau teks seorang penulis tidak terlepas dari kehidupan kesehariannya.

    Namun, kali ini, saya hanya ingin memberikan sebuah catatan khusus mengenai cerita pendek Bang Adek Alwi….

    Pertama
    Sekilas bagi para pembaca umumnya, mungkin melihat cara bertuturnya konvensional, seperti pada cerpen-cerpen lainnya. Tetapi jika kita simak lebih jauh lagi, bahwa ternyata tidak konvensional, karena mengarah kebentuk-bentuk cerpen surealis (Hal ini pernah saya sampaikan kepada Bang Adek…. )

    Kedua
    Khususnya pada cerpen ini yang perlu diberikan catatan khusus adalah: Teknik repetitif yang dilakukan oleh Adek Alwi secara sadar. Teknik repetitif semacam ini belum banyak dilakukan oleh para penulis prosa, kecuali Danarto,Seno Gumira Adjidarma dan Arie MP Tamba.Teknik repetitif semacam ini lebih banyak terdapat pada penulisan puisi.

    Ketiga
    Memberikan sebuah gambaran, bagaimana tradisi di dalam keluarga yang kemudian mengalami penyimpangan di luar keluarga. Seorang anak yang semula dididik mengenai bagaimana memahami filosofi perut dan dada mengalami perubahan ketika berhadapan dengan realitas sosial.

    Keempat
    Jika pada umumnya para penulis yang sering menulis cerpen pop terjebak pada pola-pola pop, Adek Alwi secara khusus dapat melepaskan diri dari pola-pola itu, karena sadar betul bagaimana menulis pop dan menulis kreatif.

    Untuk Saudara Tova Zen, jika Anda sering mengatakan mencoba memahmi cerpen-cerpen dengan tradisi lokal, ini baru salah satu contoh cerpen lokal yang memang sudah menjadi tradisi penulisan cerpen di kompas.

    Harapan saya lebih jauh lagi untuk Anda, saya berharap anda bisa membaca seluruh cerpen Adek Alwi, sehingga tahu perkembangan dan pergeseran dari cerpen yang satu ke cerpen lainnya. Tanpa mencari kelipingnya, di ruang ini sudah tersedia sepenuhnya.
    Terutama, seperti undangan saya kepada anda, kalau anda berminat menjadi pembicara di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, TIM, Jakarta, saya dan teman-teman akan membuatkan forumnya.

    Salam….

    Rmmy Novaris DM

    16 April 2010 at 22:06

  18. Saudara Zein, saya minta maaf kalau saya sedikit mengkritik Anda, mengenai pembahasan cerpen Adek Alwi dan juga pembahasan-pembahasan Anda lainnya yang saya ikuti di rubrik ini.

    Kritik saya adalah, Anda belum memiliki pola atau deskripsi kritik yang baku. Secara konvensional saja, anda tidak mencoba menguraikan bagaimana membangun sheting di awal cerita, bagaimana alur cerita itu kemudian mengalir dan juga endingnya. Anda juga tidak mendeksripsikan karakter-karakter tokohnya.

    Pada sisi lain, Anda selalu membaca cerita orang lain menurut keinginan Anda, harus absurd, ada klimaks dan lainnya. Sudah pernah saya katakan di sini, bahwa menulis cerpen absurd itu lebih mudah ketibang menulis cerpen konvensional yang harus ketat dengan konvesi-konvensi penulisannya. Bagaimana menjaga karakter dan pemikiran tokohnya dari awal cerita sampai akhirnya cerita. Bagaimana meyajikan alurnya sehingga plotnya tetap terjaga, dsb.

    Saya kira itu saja catatan saya kepada Anda.

    Remmy Novaris DM

    16 April 2010 at 22:52

  19. Ralat:
    Kalimat pertamanya: Salah syarat mestinya Salah satu syarat. Tapi mungkin teman-tmn sudah tahu. Biasa, kalau trburu-buru, kesalahan jari,he..he….

    Tambahan:
    6.Kompas media yang memberi konfirmasi kepada penulisnya (paling lama sebulanlah) apakah cerpennya dimuat atau tidak,sehingga tidak ada rasa dilema bagi pengarangnya atau kecil kemungkinan dimuat di media lain.

    Ada yang mau tambah? Silahkan !

    Sampai jumpa lagi. Mau kembali ke tempat terpencil.
    Salam tuk semuanya,

    Edgar

    20 April 2010 at 16:15

    • Setuju dg sodara Edgar..Kompas sll mberi konfirmasi jika karya qta dianggap blm layak tayang dsertai ihwal musababny, hal ini tentu sgt bguna sbg bahan instropeksi karya u/ perbaikan kedepanny.. n sya adlh slh 1 penerima beberapa “surat cinta” smacam ini dr Kompas hahaaaa…SEMANGAT !!

      arien

      1 Januari 2013 at 03:46

  20. Menurut pengalaman, konfirmasi biasanya 3 bulanan. Kalau hingga bulan ketiga tak ada konfirmasi, besar kemungkinan tunggu giliran. Mungkin pengalaman yang lain bisa beda, saya tak tahu.

    Aba Mardjani

    20 April 2010 at 20:12

  21. mnurut pngalaman juga, komfirmasi ditolak tu memang 2 s/d 3 bulan, tp dr pngalaman lain, smua cerpen saya yg akhirnya dimuat itu tnyt jarak kirimnya hanya skitar 3 minggu.. dg kata lain, klo dah 1 bulan g ad kabar, meskipun blm ada konfirmasi, kayaknya dah dijamin tewas.

    kcuali ada kawan yg jg pny pengalaman berbeda lagi. yah, namanya jg pngalaman, kadang2 nakal.

    Raga

    21 April 2010 at 07:27

  22. numpang COPAS ya… makasih 🙂

    Muhammad Ihsan

    13 Mei 2010 at 06:15

  23. cerpen yang bagus sekali. Terpikat aku dibuatnya

    kuya

    19 Mei 2010 at 18:23

  24. Cerita yang sangat bagus, sebuah nasehat lembut. Saya suka uka sekali

    arizafa

    31 Desember 2010 at 16:53

  25. master………….

    propananda

    12 Agustus 2011 at 12:18

    • Grand Master Catur mah Magnus Carlsen bukan Pak Adek Alwi wkwkwkwkwk

      Febrian

      10 November 2016 at 14:36

    • CANDA WKWKKWWK

      Febrian

      10 November 2016 at 14:42

  26. Hanya satu kata..”Luar biasa”..,sukses trs bwt penulis….

    Miss aida

    4 November 2011 at 11:13

    • Luar Binasa

      Febrian

      10 November 2016 at 14:38

  27. cerpen ini, ringkas, enteng, mengalir, namun penuh makna dan teka teki…..
    salut …..

    mridwanpurnomo

    17 Desember 2011 at 17:20

  28. BEST CERPEN EVER!!!
    Aku salut sama Adek Alwi

    ChristinaWiharani

    1 Maret 2013 at 06:57

    • OLOFMEISTER – Best CSGO player in the world, dia gak bikin cerpen wkwkwkw 🙂

      Febrian

      10 November 2016 at 14:39

  29. Banyak cerpen kontemporari jepang yang ber-genre begini dan disukai amat oleh biniku yang bisa berbahasa jepang. Tidak ada titik akhir yang jelas lantaran penulis memberikan ruang bagi pembaca untuk mengembangkan imajinasi sendiri-sendiri.

    Pada hematku, cerpen ini diuntai ekspresi yang mengalir lembut dengan kritik sosial yang melecut, tetapi memiliki buntut yang tak berujung. Aku yang penikmat puisi konvensional lebih menyukai hal yang dirampungi dengan kepastian mutlak, kebahagiaan atau kesedihan.

    Pengalaman dan usia melahirkan selera yang berbeda, ya?

    edizal

    15 Juli 2015 at 18:25

  30. Cerita yang bagus dengan bahasa yang mudah dimengerti..

    Catering Jakarta

    20 Agustus 2023 at 19:03


Tinggalkan Balasan ke Aba Mardjani Batalkan balasan