Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Obsesi

with 30 comments


Kamu pikir aku tahu bentuknya seperti apa, mengingat kini aku menggelepar ingin bebas dari cengkeramannya. Tapi aku tak bisa lepas; terseret jauh ke dalam rongga hitam yang mengisap raga dan jiwaku secara paksa, lebih kelam dari mimpi burukmu, lebih merah dari kucuran darahmu.

Kamu takkan mengerti. Tak ada orang yang mau mengerti. Sudah, jangan dengarkan celotehanku ini. Toh, semua orang sudah berhenti mendengar—kecuali Dr Pana.

Dalam evaluasinya, Dr Pana menyimpulan bahwa aku menderita penyakit manik depresif ringan, yang berarti emosiku terus berubah-ubah, tak konstan. Mood Swing namanya, apalah. Terserah. Menurutku emosi ya emosi. Nyata. Mendera. Dr Pana tak mengerti aku. Sama seperti kamu. Berhentilah menceramahiku.

Aku berjalan mondar-mandir di kamar tidurku, di sebuah unit apartemen di Menara Tiga yang menghadap ke jalur arteri ibu kota. Hujan turun deras sejak sore tadi, butiran air terus menghantam jendelaku, satu demi satu, menapakkan jejak bening.

Ibu berkali-kali menelepon, berusaha menenangkanku, takut aku melakukan sesuatu yang tak diinginkan, sesuatu yang bodoh, tergesa-gesa, ceroboh. Beliau bercerita kepadaku perihal lelucon yang didengarnya di pasar minggu lalu, agar aku tergelak, lupa sesaat—tapi aku tak pernah tertawa jika beliau berusaha membuatku terkekeh.

Leluconnya membosankan. Sudah kudengar sebelumnya. Tak ada yang lucu di dunia ini. Habis sudah tawa yang dulu terpendam dalam dada, kering tak bersisa. Kamu takkan mau tahu. Aku lelah menjelaskan semua ini. Aku mencoba untuk duduk, tapi tak bisa. Aku harus terus bergerak.

Saat kuangkat gagang telepon, jemariku bergetar. Kutatap jajaran tombol numerik yang ada di pesawat telepon. Lima jam telah berlalu sejak terakhir aku menghubunginya. Dia pasti sudah pulang ke rumah sekarang.

“Halo?” Nah itu dia! Shhhhh… “Halo?”

Kutekan tombol flash. Kamu dengar suaranya barusan? Dia menyapaku. Terus terang, aku tak perlu banyak. Sapaan ringan atau desah napasnya saja sudah cukup. Kini dunia tampak lebih baki, stabil, indah; gambaran wajahnya memenuhi kepalaku, meninggalkan tapak-tapak hasrat dalam tubuhku, dan dengan girang kusambut kebahagiaan ini. Telingaku tak mencurangiku.

***

Namanya Kemarau, seperti nama musim. Dia adalah wanita tercantik yang pernah hadir alam hidupku. Matanya berwarna hitam-kecoklatan, dan saat dia tertawa matanya menari menggodaku.

Kemarau paling senang menghabiskan waktunya di sebuah vila milik keluarganya di Sukabumi, di mana dia bisa menunggang kuda dan berenang di danau tenang. Aku masih ingat. Dia suka rasa buah ceri yang masih setengah matang, gemar memetiknya langsung dari pohon tanpa dicuci terlebih dahulu.

Katanya, sebisa mungkin dia ingin menceraikan diri dari kehidupan di kota besar dan kembali ke alam natural. Di Sukabumi, ia punya kebiasaaan bangun pukul 5 pagi dan pergi berjalan kaki menyusuri perkebunan. Dia ingin sendiri. Aku masih ingat.

“Apa kamu masih mencintainya?” tanya Dr Pana di salah satu sesi pertemuan kami/ Tubuhnya yang tambun bersandar pada punggung kursi yang dilapisi bahan kulit, kakinya bertumpu di sudut meja yang tersusun oleh kayu mahoni. Kedua tangannya terekat dalam posisi berdoa di atas perutnya yang buncit.

Aku menatap jauh, ke luar jendela kantor Dr Pana yang terletak di gedung perkantoran bertingkat empat di area Kningan, melewati hamparan taman kecil di bawah sana. Jantungku berdetak cepat, secepat langkah kaki yang kubiarkan berlari dalam imajinasi, melampaui kutub-kutub dunia.

“Entahlah.” aku berbohong. Masih banyak yang ingin kusampaikan, jauh lebih banyak.

“Apa kamu rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya kembali?” lanjut Dr Pana seraya melepas kacamatanya, lalu menggunakan jempol dan jari telunjuknya menekan titik di antara kedua mata.

Pertanyaan itu tidak masuk akal. Sejauh mana pengabdian cinta bisa dikategorikan sebagai pengorbanan? Aku rela memberikan hidupku. Menggabungkan dua benua yang dipisahkan lautan luas. Memindahkan gunung. Kelaparan. Tapi, tidak sekarang. Tidak sejak Kemarau melaporkanku ke polisi atas dasar gangguan jiwa.

Aku tak menjawab. Dr Pana mencatat sesuatu di buku catatannya.

***

Kami teman dekat, atau setidaknya aku dan Kemarau pernah jadi teman dekat. Katanya aku adalah pria paling baik yang pernah dia temui; dan dia bersyukur karena tak sengaja bertemu denganku di sebuah toko DVD bajakan, saat sedang memburu film-film teranyar. Aku menyapanya, karena parasnya mengingatkanku akan temanku dulu di sekolah dasar. Kami berkenalan.

Dulu aku masih berprofesi sebagai seorang dokter umum. Setahun sebelumnya, aku baru saja lulus dari universitas kedokteran, dan aku punya banyak mimpi untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Jika kamu lihat tanganku saat itu, kamu pasti tak menyangka. Jemariku tak pernah bergetar sedikit pun. Diam, seperti batu. Aku tak mengenal rasa takut.

Kemarau mengagumi cita-citaku untuk menolong orang, dan sesekali dia membandingkan perjalanan hidupku dengan kisah orang suci dan pahlawan rakyat yang pernah dia dengar selagi kanak-kanak.

Kuyakini dia baha aku sama bejatnya dengan sebagian besar laki-laki yang dia kenal. Kemarau mengangguk, tapi kemudian memberiku nama panggilan “Santo” yang lekat hingga sekarang.

Di penghujung musim hujan tahun itu, kami berbaring bersebelahan di atas hamparan rumput segar di belakang vila keluarganya di Sukabumi. Punggung kami bersentuhan dengan permukaan tanah. Wajah kami berhadapan dengan langit senja. Dua gelas sirop dibiarkan kosong di samping kami, berikutnya keranjang buah dan makanan kecil yang setengah isinya telah kami santap.

Menjelang malam, Kemarau menunjukkan jarinya ke arah konstelasi bintang yang dikenalnya dari pelajaran astronomi di kampus. Ia tersenyum mendapati bentuk gugus bintang yang menyerupai kepala botak.

“Itu pamanku, Om Lingus,” bisiknya sambil tertawa. “Rambutnya tak pernah tumbuh lagi sejak ia berusia dua tahun.”

Sesuatu di dalam tubuhku bereaksi mendengar suaranya. Aku menoleh ke arahnya. Kemarau terdiam bisu.

Kupegang tangannya, lalu aku berguling menyamping hingga tubuhku berada di atasnya. Wajahnya mendadak dipenuhi teror, berubah merah, berat tubuhku mengimpit gejolak yang tumbuh di dada. Persahabatan kami berubah menjadi sesuatu yang lain, berbeda. Langit menjadi saksi kami.

“Aku baru makan bawang putih tadi,” akunya malu. Kemarau berusia 20 tahun dan setiap inci tubuhnya memancarkan cahaya hidup yang tak pernah redup. Aneh rasanya mendapati wajah Kemarau memerah karena malu. “Mulutku bau,” lanjuntnya, menahan agar bibirnya tidak terbuka terlalu lebar.

Aku tak peduli. Kudekatkan wajahku dengannya. Pipinya hangat ketika bersentuhan dengan pipiku, ketika kukecup pucuk hidungnya, dan kurasakan dia menahan napas. Jika ia masih ingin memberi alasan lain, aku takkan mendengarnya. Dia tahu itu.

“Lepas napasmu,” kataku, menyentuh sudut bibirnya. “Aku tak peduli.”

Pasrah, dia melepas napasnya; kuhela bau bawang putih yang keluar dari mulutnya sama seperti kuhela ciuman perawannya. Dia tak pernah mengakuinya kepadaku, tapi aku adalah yang pertama. Aku tak bisa membuktikannya, tapi aku bisa merasakannya.

***

“Kamu harus bisa melupakan dia, Santo,” nasihat Dr Pana, menyilangkan kakiknya yang tebal dan gemuk, menatap jauh ke dalam mataku. Itu adalah hal terbodoh yang pernah ia sampaikan kepadaku, seolah aku tak tahu, tak sadar, tak mau tahu. Aku berserah pada kursi tempatku duduk, membiarkan tubuhku yang menggumpal di sana, seperti orang yang baru saja dipaksa berlari marathon dan kini lelah bukan kepalang, “Cobalah pergi keluar dengan teman-teman kerjamu,” tambah Dr Pana.

Kucoba main tenis, kucoba main video game. Kucoba berjalan jauh mengelilingi kompleks perumahan. Kucoba merokok, kucoba marijuana. Aku menenggak alkohol di bar umum dan menggauli gadis-gadis murahan untuk semalam. Kucoba berakting, kucoba memecahkan teka-teki matematika. Tadinya aku ingin mencoba berenang, tapi takut tenggelam.

Akhirnya aku duduk di bangku taman dan menatap matahari terbenam.

***

Saat ini leawt pukul 02.00 pagi dan mataku tak mau terpejam. Jika kesunyian bisa membunuh, dalam waktu dekat aku pasti sudah mati. Hampa ruangan dengan cepat digantikan oleh gumaman bernada tinggi yang datang dari setiap sudut ruangan, membuat bulu kudukku berdiri. Kudengar napasku berburu, mencari bayang-bayang masa lalu, mengembara di alam gelap dan terpuruk berpapasan dengan sesal.

Hari esok adalah satu-satunya harapanku. Matahari akan bersinar lagi. Aku akan hidup sehari lagi.

Ini bentuk yang kulihat dari tempatku berbaringl sebuah bola besar berpijar terang membawa petaka, terjatuh dari kegelapan di atas sana, pijarannya panas membakar kulitku, memicu amarah, benci, dan duka.

Kutunggu kesempatan untuk menekan nomornya lagi, dan itu saja sudah cukup. Itu lebih dari cukup.

Obsesi, permainan yang tak ada habisnya!

Written by tukang kliping

7 Maret 2010 pada 09:44

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

30 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. biasa..

    kunto

    7 Maret 2010 at 15:26

  2. @ teman2, hari Minggu ini koran Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka dan Koran Tempo memuat cerpen2 yang berkarakter cukup kuat. silahkan untuk membacanya mampir di rumah saya di link ini http://lakonhidup.wordpress.com/

    @ mas tukang kliping, terima kasih 🙂

    lakonhidup

    7 Maret 2010 at 20:57

  3. ha…ha..kayak pengalamanku sekarang. ada orang gila ngejar2 aku…he…he untung aku ada di belahan bumi lain.

    lia

    8 Maret 2010 at 02:26

  4. Nice, Kompas 🙂

    A

    8 Maret 2010 at 07:10

  5. Untuk saudara Maqiqie terimakasih telah memberikan wacana pada cerpen anda. Saya jadi lebih tahu tentang penyakit MOOD SWING. Secara psikologis itu merupakan gejala gangguan mentalkah? Untuk konflik yang anda benamkan rasanya kurang tajam. Karakter penokohan juga kurang tegas. Plotnya terlalu kaku. Bagaimana kalau bahasanya lebih di pertegas dengan metafora, personifikasi adai analogi. Jadi tak terlalu datar, saya seprti membaca wacana bukan cerpen. Karena kurang hidup dari segi bahasa. Tapi jujur saya tertarik dengan naskah cerpen anda. Congrat.

    Tova Zen

    8 Maret 2010 at 15:27

  6. Kutunggu cerpen Maggie lainnya. Mungkin di media lain, barangkali?

    Bamby Cahyadi

    8 Maret 2010 at 16:19

  7. Bamby penjilat banget sih. Dikritik juga kagak mau.

    edit: A gmail

    A

    10 Maret 2010 at 09:47

  8. @A dengan gmail:
    saya tidak tahu kepentingan Anda di sini, dewasalah dalam beretika di internet

    @A dengan yahoo:
    saya tidak mengenal Anda jadi saya hanya mau menginformasikan bahwa dua A di atas bukan orang yang sama, maaf saya terpaksa menyunting komentar Anda berdua

    tukang kliping

    10 Maret 2010 at 10:18

  9. @tukang kliping

    Terima kasih atas perhatiannya. Kejadian seperti ini biasa terjadi di forum2 diskusi, biasanya tujuannya untuk memancing keributan.
    Bila terulang kembali saya akan menginformasikannya lagi pada anda. Maaf merepotkan.

    A

    10 Maret 2010 at 10:40

  10. ha… ha… ha… jangan marah-marah mbak A, nanti cepat tua

    Buruh SD

    10 Maret 2010 at 11:26

  11. @Buruh SD

    Siapa yg marah Jeng Buruh? Saya cuma menginformasikan kok? Lagipula nggak ada yg mau forum ini jadi ajang fitnah kan? he he he

    A

    10 Maret 2010 at 11:30

  12. @ A: saya bukan kritikus yang baik. Jadi hanya membaca saja. Jadi, karena saya search google dan sriti.com belum menemukan karyanya yang lain, saya no comment dulu deh. Untuk urusan selera, cerpen ini biasa saja.

    Bamby Cahyadi

    10 Maret 2010 at 21:32

  13. Komen di atas untuk A pakai g.mail

    Bamby Cahyadi

    10 Maret 2010 at 21:36

  14. sudah2 rukun2 aja gimana to? tinggal menikmati cerpen dan menrefleksikannya. suka ya komen suka…nggak suka, kasih kritik yang membangun. gus dur bilang gitu aja repot kayak anak2 TK.

    lia

    11 Maret 2010 at 02:19

  15. bersyukurlah kepada Tuhan, kemudian Kompas; Kompas masih memberi ruang para cerpenis. kompas masih “stabil”, itulah kompas. kekonvensionalan masih dirawat baik. meski tetap mengkomposisikan eksperimen (yg mnurut saya asl tak berlebih). Sebagai pengoplah terbanyak, Kompas, sangat memperhatikan logika kalimat (berbahasa. di sini bahasa cerpen; khas kompas yg pembacanya-kalo boleh dibilang dan memang iya-ampe masyarakat di Labuan Bajo dan pedalaman2 Flores. ya, itulah Kompas. terpenting bersyukur pula, koran-koran lain (di Indonesia tercinta ini) juga mmbuka peluang bagi para prosais maupun penyair. Semuanya memberi keanekaragaman cara mengatarsiskan masyarakatIndonesia; keanekaragaman: gaya, sudut pandang, penokohan, dan persoalan intrinsik lainnya. Intinya: meski berbeda-beda, namun tetap satu; satu cerpen; Cerpen Indonesia..amin 🙂

    F Moses

    11 Maret 2010 at 16:36

  16. istiqfar mbak2,mas2,bpk2,ibu2,om2…
    komentar kok jd ribut2…
    thanks cerpen2x y tkang kliping..

    bgx

    11 Maret 2010 at 18:17

  17. Kalau diperhatikan tahun ini Kompas banyak memberi ruang bagi penulis baru (?). Ini Patut dihargai. Bamby dan Moses semoga cerpen-cerpen kalian makin baik, belum pernah tembus di Kompas ya?

    Kiki Sulistyo

    11 Maret 2010 at 23:02

  18. Betul itu Bung Moses, yang penting bagaimana kita terus berkarya.

    Joni Padang

    12 Maret 2010 at 14:11

  19. Ramai sekali di sini, ada perseteruan tak beretika pula dari S-gmail dan A-yahoo (macam begu). O, ada Kiki Sulistyo pula, sering saya jumpai karya2mu di Batam Post, kapan kau mampu tembus Kompas? Macam Bamby dan Benny Arnas. Haiyah..

    Prosaholic

    12 Maret 2010 at 18:32

  20. Akhrnya yg seru di cerpen kompas adlh comment. Yg duluan saya cari stiap cerpen kompas adlh koment.. Lbh hdp, lbh brbhasa..

    Bina

    12 Maret 2010 at 20:11

  21. Jadi penasaran mau baca buku Maggie Tiojakin. Saya cuma bisa dapat karyanya yang lain di sini: http://www.hackwriters.com/Homecoming2.htm

    @ A (yang asli): orang2 seperti itu gitu gak usah ditanggapin karena reply di sini nanti jadi panjang. asli atau palsu who cares, yang penting kita bisa baca prosa di sini dengan asyik. situ repot deh.

    Jo

    13 Maret 2010 at 06:20

  22. Kalau nggak salah Maggie Tiojakin pernah nerbitin buku kumcer beberapa tahun lalu, tapi dalam bahasa Inggris — judulnya Homecoming. Menurut saya tulisan dia lebih hidup dalam bahasa Inggris, walau itu nggak berarti bahasa Indonesianya nggak bagus loh.

    Ada satu cerpen yang saya suka banget, judulnya This American Life, itu bisa ditemukan di http://eastownfiction.com/stories/14 juga dalam bahasa Inggris. Atau yang baru-baru diterbitin di Jakarta Post, bisa dicek di http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/20/the-look.html

    Salam cerpen!
    🙂 T

    Tina

    14 Maret 2010 at 01:04

  23. Makanya jangan pakai nick A aja. Pakai nama beneran dong.Biar ga di bajak seenaknya. Berani dikit memunculkan diri napa seehhhh?

    Pengemis yang suka baca cerpen

    15 Maret 2010 at 14:50

  24. mari damai, jangan ada bajak-membajak, karena memang bukan sawah. Yang suka adu-domba, mungkin masih anak buahnya kumpeni. salam damai. Bwt A saya selalu menunggu komentar2 anda selanjutnya……

    ikan

    16 Maret 2010 at 10:16

  25. Peace:-)

    Ari

    16 Maret 2010 at 12:54

  26. @A atawa tukang kliping atawa redaktur Kompas atawa sesiapa apapun kepentingannya: Tersebab membaca kompolan komennya, sah-sah saja ditarik kesimpulan seperti ini: Campur aduk, mbolak-mbalik, tumpang tindih, adhesi kohasi; apapun istilahnya. Mulai mengkritik Kompas tak becus atas cerpen yang menurutnya jelek atau itu-itu; mengelak menyerang indiviu. Trus memihak Kompas atas cerpen tak disuka pembaca, trus menolak kritik cerpen atau subyektivitas, bla…bla… kalo pengen rame nih situs, jangan gitu dong…

    A palsu

    19 Maret 2010 at 15:05

  27. @A palsu:

    Jangan-jangan Anda yang ingin situs ini ramai?

    untuk semua A: saran saya, buatlah akun di wordpress untuk berkomentar agar tak lagi keliru

    tukang kliping

    22 Maret 2010 at 08:55

  28. Tukang Kliping yang terhormat, Sdr. A Palsu (entah mungkin dr asli/ palsu atas nama A, ah, Prosa tak nyaman. sungguh. maaf) membuat ruang ini tak nyaman; macam kayak, maaf, daerah Gang Warakas, Tanjung Priok, aja. mohon ditindak. memalukan Prosa Indonesia. Maaf A (asli ato palsu-semua) mohon hormati Tukang kliping.

    Prosaholic

    22 Maret 2010 at 23:01

  29. @Prosaholic

    Utk sementara saya anggap posting di atas dibuat oleh Bung Prosaholic yg asli.
    Posting saya yg mana yg membuat anda tak nyaman?
    Ada isi tulisan yg salah atau tidak anda setujui?

    Silahkan berdebat baik2 jika mmg anda merasa ada yg salah dlm tulisan saya.
    Jika mmg terbukti salah, saya dgn senang hati akan mengkoreksi.
    Terima kasih.

    A

    23 Maret 2010 at 07:16

  30. @tukang kliping

    Saya hargai saran anda, tapi tentunya anda tau kan akun wordpress minimal 4 karakter shg saya tdk mungkin menggunakan nickname ‘A’ lagi?

    Maaf bung, anda tentunya bisa cek sendiri email saya. Dan anda bisa lihat bahwa saya yg pertama kali menggunakan nickname ‘A’ di forum ini.
    Bhw kemudian ada org (atau bbrp org) yg membajak nickname saya (dgn email yg berbeda tentunya), itu sudah di luar kekuasaan dan tanggung jawab saya.

    Saya tau, mengecek email satu persatu tentunya akan merepotkan anda,
    tapi seperti yg saya utarakan sebelumnya,
    hal seperti ini sering terjadi di forum2 internet,
    dan yg berhak memakai sebuah nickname, tentunya adalah pemakainya yg pertama kali di forum tsb.
    Pihak2 lain yg masuk belakangan hrs punya etika untuk tidak memakai nickname yg sama.

    Yg terjadi di sini adalah nickname SAYA yg dipalsu, lantas digunakan untuk menyerang org lain.
    Jadi yg harus diberi tindakan tentunya org yg melakukan pemalsuan. Bukan pemilik nick aslinya. Mohon pengertian.

    Saya tetap akan bantu anda dgn melaporkan posting2 palsu tsb.
    Terima kasih banyak.

    A

    23 Maret 2010 at 07:31


Tinggalkan Balasan ke A Batalkan balasan