Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Orang-orang Tak Bersalah

with 40 comments


Sudah enam bulan kamar itu kosong, tapi bukan tak berpenghuni. Kamar itu masih berpenghuni karena barang-barang milik penghuninya masih berada di tempatnya. Hanya saja selama sekian bulan itu, penghuninya tidak pernah pulang. Penghuninya tidak memberi kabar sedikit pun, apakah akan kembali ke kamar itu atau tidak.

Radio dan buku-buku yang berada di atas meja kecil di sudut ruangan sudah terbungkus oleh debu. Baju-baju kotor yang tergantung di dinding sudah menjadi sarang laba-laba. Ampas kopi dan puntung rokok sudah mengering di dasar gelas. Bau makanan busuk dari piring di bawah kolong ranjang membuat ruang kamar itu bertambah pengap.

Wanita separuh baya itu masuk ke dalam kamar itu dengan langkah perlahan seraya memerhatikan lekat-lekat seluruh sudut kamar. Dan ia menutup hidungnya dengan tisu yang memang sudah dipersiapkannya. Karena ia sudah mengira suasana kamar itu akan seperti apa yang dilihatnya sekarang.

Pandangan wanita separuh baya itu pun tertumbuk pada secarik foto yang tertempel di dinding. Foto itu memperagakan bagaimana si penghuni kamar dengan beberapa orang di dekatnya mengacungkan kepalan tangan ke udara. Di samping foto itu juga tertera seberkas berita dari koran lokal, ”Deklarasi Pemuda Revolusioner Digerebek polisi!” Wanita itu pun melihat penghuni kamarnya berada dalam foto di koran itu diborgol dan digiring oleh dua-tiga polisi menaiki sebuah mobil tahanan.

Sekarang semakin jelas bagi wanita itu, kenapa penghuni kamarnya tidak pernah pulang. Mungkin sekarang berada di dalam tahanan polisi. Tapi apa sebenarnya yang dilakukan pemuda itu hingga harus ditangkap polisi? Maka ia pun mencoba mereka-reka makna dari judul tulisan Deklarasi Pemuda Revolusioner itu, yang hanya mengingatkannya pada apa yang pernah diucapkan oleh Presiden Pertama Soekarno, ketika ia masih remaja.

Pada masa itu, ia sering mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda di jalanan atau pidato-pidato pemimpin pada saat itu selalu menyebutkan kata-kata revolusioner. Ia sendiri tidak begitu memahami makna dari kata itu. Hanya saja pada saat itu, para pemuda atau orang yang tidak bersikap revolusioner, berarti menentang pemerintahan pada saat itu. Bahkan tidak jarang dituduh sebagai agen imperialis. Agen Amerika dan Inggris.

Dan ayahnya, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Kereta Api, dituduh tidak bersikap revolusioner, diadukan oleh salah seorang bawahannya ke pihak kepolisian sehingga kemudian dicopot dari jabatannya dan dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa bulan. Sedangkan harta benda milik mereka dirampas oleh para pemuda dengan alasan disita atas nama negara karena semuanya hasil korupsi.

Ekonomi keluarganya kemudian berantakan, apalagi setelah ayahnya meninggal dalam tahanan karena tidak tahan menderita. Hingga mereka yang semula serba kecukupan, terjadi sebaliknya. Satu per satu harta benda keluarga yang masih tersisa, baju, seprai, sendok makan, dan lainnya dijual ke tukang loak untuk makan sehari-hari. Untuk dibelikan beberapa kilo singkong, kemudian direbus dan dimakan dengan sambal secara bersama-sama. Dan meskipun mereka hanya makan singkong yang dijatah di setiap piring di atas meja, mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan lama mereka, jika mereka selalu harus makan tepat waktu. Siapa yang terlambat makan, maka yang terlambat itu tidak diperbolehkan makan hingga menjelang makan malam.

Akibat dari peristiwa itu pula, ia dan juga saudara-saudaranya yang lain menunggak uang sekolah berbulan-bulan, hingga akhirnya pihak sekolah mengeluarkan mereka atau akhirnya mereka sendiri yang memilih untuk keluar dari sekolah, kemudian bekerja serabutan apa saja untuk mempertahankan hidup. Dari menjual es mambo berkeliling atau menjadi tukang cuci pakaian tetangga.

Beranjak dewasa, karena ia ingin kehidupan yang lebih baik, ia terpaksa bekerja di sebuah kelab malam karena tidak memiliki keterampilan apalagi ijazah SMA. Karena bekerja di kelab malam itu juga dirasakan masih belum mencukupi, ia pun memenuhi panggilan di luar jam kelab malam, hingga ia nyaris menjadi pelacur profesional, kalau saja ia tidak diambil sebagai istri muda oleh suaminya sekarang.

Suaminya kemudian membelikannya sebuah rumah yang cukup besar, hingga kemudian, bagian paviliunnya, ia sekat beberapa ruangan untuk dijadikan kamar kos. Dan ia sungguh merasa beruntung karena rumahnya dekat dengan sebuah kampus swasta sehingga kamar kosnya tidak pernah sepi. Apalagi ia memberikan kebebasan kepada anak-anak kosnya untuk keluar-masuk asal tidak sampai mengganggu penghuni kos lainnya. Ia juga sudah sangat berpengalaman menghadapi anak-anak kos yang nakal-nakal, hingga ia tahu juga bagaimana mengatasinya. Tetapi, baru kali ini ia mempunyai perhatian khusus terhadap anak kos yang kamarnya sedang diamatinya sekarang ini.

Padahal anak itu sangat pendiam atau jarang sekali berbicara. Kalaupun anak itu berbicara, bicaranya pun hanya seperlunya. Anak itu pun tidak juga banyak bergaul dengan anak-anak kos lainnya. Bahkan anak itu, boleh dikatakan, sering menutup diri dan lebih banyak membaca buku. Tetapi dibandingkan dengan anak-anak kos lainnya, anak kos yang kamarnya kosong ini selalu saja mempunyai jawaban untuk setiap persoalan yang sering ia ajukan pada anak itu. Bahkan sebaliknya setiap kali anak kos itu melontarkan sebuah pertanyaan padanya, pertanyaan itu sangat sulit dijawabnya, kecuali jika anak kos itu kemudian memberikan contoh-contoh kasus, baru ia dapat memahaminya.

Tetapi sekarang, anak kos itu meninggalkan sebuah pertanyaan besar dalam dirinya. Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak bisa ia mengerti, kenapa anak kos itu berada di dalam selembar koran dan ditangkap oleh polisi. Dan revolusi apa yang dideklarasikan oleh anak itu beserta kelompoknya. Jika ayahnya dulu ditangkap karena dianggap tidak revolusioner, kenapa sekarang orang yang berteriak revolusioner ditangkap.

Apakah karena zaman sudah berbeda? Pemerintahannya juga sudah berbeda? Ia bertanya-tanya dalam hati, sambil mengambil piring kotor dari bawah ranjang. Ia letakkan piring kotor itu di luar pintu kamar karena ia masih ingin membersihkan kamar itu dari debu dan sarang laba-laba di sudut kamar. Ia kemudian membuka jendela agar kamar itu tidak terasa pengap.

Belum lagi ia selesai membersihkan kamar kos itu, seorang anak kos perempuan berlari menghampirinya. ”Bu, ada berapa anggota polisi di teras.”

”Polisi?” wanita separuh baya itu agak terperangah dan hampir tak percaya sepenuhnya.

”Iya, mereka tanya soal Nirwan, Bu,” kata anak kos itu lagi.

Tanpa menjawab pertanyaan anak kos, wanita separuh baya itu menuju ke teras diikuti anak kosnya.

Di teras tampak empat orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dua orang berseragam lengkap dan dua orang lagi berseragam preman.

”Selamat siang, Ibu?” sapa salah seorang berpakaian preman pada wanita separuh baya itu.

”Siang, Pak?”

”Maaf, Ibu, apa betul ini rumah Ibu Rubiah?” Tanya polisi berbaju preman itu lagi dengan nada sopan, tapi pandangan mata penuh selidik.

”Iya, Pak. Saya sendiri,” jawab wanita separuh baya bernama Rubiah itu.

”Kami dari kepolisian. Apa betul Nirwan tinggal di sini?” Tanya orang berbaju preman itu sambil memperlihatkan selembar foto pada wanita separuh baya bernama Rubiah itu.

”Iya, betul?” sahut Ibu Rubiah setelah memerhatikan foto yang diperlihatkan kepadanya.

”Sudah berapa lama dia tinggal di sini, Bu?” Tanya polisi berpakaian preman itu lagi.

”Sudah lama. Tapi, sudah….” Ibu Rubiah sedikit tergagap. Ia ingin menjelaskan bahwa sudah enam bulan lebih anak kosnya itu tidak pulang. Tapi ia seolah-olah tidak diberi kesempatan menjawab.

”Ibu tidak pernah laporkan ke rukun tetangga?” potong polisi berpakaian preman itu lagi.

”Saya memang… belum…,” Ibu Rubiah semakin tergeragap dan mulai merasa panik.

”Ibu tidak tahu kalau ia buron pihak kepolisian?” polisi berpakaian preman itu terus mencecar.

”Saya tidak tahu kalau dia buronan.”

”Kalau begitu, Ibu ikut kami.” Dua orang polisi yang berpakaian lengkap melangkah maju dan langsung memborgol pergelangan Ibu Rubiah.

”Lho, salah saya apa, Pak?” Ibu Rubiah benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. Ia mulai menangis, apalagi tangannya mulai diborgol oleh para polisi itu

”Ibu kami anggap telah menyembunyikan buronan.”

”Saya tidak tahu kalau dia…,” Ibu Rubiah mencoba berkilah.

”Nanti ibu jelaskan semua di kantor polisi. Dan ada pengacara untuk itu.” Potong polisi berbaju preman sambil menyeret wanita itu ke atas mobil. Sementara itu, polisi lainnya memasang garis polisi.

Written by tukang kliping

7 Februari 2010 pada 10:20

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

40 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. HERAN GUE…CERPEN KAYAK GITU KOK LOLOS KE KOMPAS..PADAHAL BANYAK BANGET PENDATANG BARU YANG CERPENNYA LEBIH MEMPUNYAI NILAI MORAL BAHKAN FILSAFAT KOTEMPORER YANG LEBIH BAGUS…ITULAH INDONESIA..BAHKAN SASTRA PUN DIMONOPOLI OLEH PENULIS SENIOR.. MAKANYA NEGERI INI TERUS TERPURUK KARENA TIDAL PERNAH MEMBERI RUANG PADA GENERASI MUDA TERUTAMA BAKAT-BAKAT BARU…
    tolong dong..para penulis senior juga redaksi harus toleransi…kasih ruang pada mereka…biarkan mereka berkembang..TRIM’S

    tukang kritik tidak bijak

    10 Februari 2010 at 13:10

  2. Ampun.. Kualitasnya. Kok bisa ya, dimuat kompas? Beneran ini dari kompas?

    indonesiaHAI

    10 Februari 2010 at 14:06

    • pasti bacanya dengan penuh emosi dan penasaran karena punya keinginan sendiri. Jadi kecewa ya? salam….

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:25

  3. @tukang kritik tidak bijak

    Bos, setahu saya, Bung Remmy itu sangat2 senior lho…he he he he

    A

    10 Februari 2010 at 15:42

  4. Komen Tukang Kritik kok seperti isi tatus terbaru di facebook salah seorang penulis muda yg ada di friendlist saya ya? Apakah tengah menyuarakan kekesalan hati? BErjuanglah… Tak perlu mengeluh. Karena saat para senior itu semuda Anda, perjuangannya juga mungkin sama berat atau bahkan lebih berat dari Anda.

    Re

    10 Februari 2010 at 19:36

    • Betul, ung Re. Berjuanglah. Soalnya ada kisah menarik di sini. Seorang anak muda mengkritik saya atau setiap karya yang dimuat di sini, menurutnya jelek dan tidak menarik. Anak muda itu kemudian mengirimkan cerpennya ke Facebook saya. Saya terkejut membaca cerpennya. Saya pun hanya katakan padanya: Bung, ternyata menulis cerpen tidak gampang ya?” Pemuda itu semakin penasaran. Ia bisa kirim 10 cerpen dalam 1 hari, hingga status saya penuh dengan kirimannya. Tapi nyaris tidak ada satu teman FB pun yang menjawabnya.

      Mudah-mudahan yang suka mengkritik di sini jangan mengulang ke salahan yang sama ya? salam….

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:30

  5. Tapi saya setuju, cerpen ini datar sekali…

    Re

    10 Februari 2010 at 19:40

  6. Bukan pada selera redaktur, tetapi lebih dari bagaimana kita membaca cerpen ini sesuai selera pembaca/pribadi. Secara pribadi, saya katakan bahwa cerpen ini biasa (walaupun mungkin dimuat di koran lokal), tapi khan menjadi luar biasa ketika kita membacanya di Kompas? Bukan begitu?

    Bamby Cahyadi

    10 Februari 2010 at 20:31

  7. Cerpen ini bagus kok 🙂

    revolte

    10 Februari 2010 at 21:18

  8. Gitu doank???

    OMG… padahal tadinya saya pikir cerpen ini bakal “semenarik” paragraf awal…
    ternyata…

    padahal tadi saya tiba-tiba terjaga, dan entah kenapa saya ingin membaca cerpen…
    ternyata…

    ya sudahlah saya cari yg lain saja.
    maaf lg kebawa hormon…

    Siput Cupu

    11 Februari 2010 at 01:55

  9. cerpen ini bagus, hanyasaja spt kata tmn dekat saya, tidak bisa menyelamatkan ending.

    Raga

    11 Februari 2010 at 08:52

    • endding tentu tidak selalu harus happy ending…..

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:23

  10. TUKANG KRITIK GENDENG!!! jangan2 kamu ya yang penulis muda itu ??? hahahaha..payah !!! malu deh aku..!

    vedy irlyc

    11 Februari 2010 at 21:16

  11. Sedikit beropini bro..cukup menarik pada awalx…tapi lama2 terasa pesona ceritax melemah yap?
    Mungkin diti2k endingx seharusx d buat lbh menyentak hingga menyelamatkan cerita secara keseluruhan..tp bagaimana pun penulis jg manusia dan sdah mencoba berusaha sebaik mungkin..sukses,boz!

    pembacaBaru

    11 Februari 2010 at 23:10

    • cerpen pop bisanya suka memancing emosi pembaca. persis kayak film sinetron. bagi yang suka cerita menghentak-hentak dan memacing emosi, lebih baik tidak usah baca karya sastra. Lebih baik nonton sinetron atau cerpen populer… pasti bisa terharu biru dan menangis. Hehehe….

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:39

  12. Wah makasih banyak atas ceritanya…

    amadnoy

    12 Februari 2010 at 05:31

  13. ada 3 tokoh yang ditampilkan sebagai orang2 tak bersalah: ayah bu rubiah, bu rubiah, dan penghuni kamar kos yang buron. Ketiganya dirangkum dalam satu cerita yang ringan dan mengalir

    ewing

    12 Februari 2010 at 20:51

  14. sama…
    aga kecewa juga hehehhe

    saiful

    13 Februari 2010 at 22:19

  15. ceritanya datar ya,,,dan terkesan biasa. tapi mungkin memang penangkapan orang-orang tak bersalah sudah biasa terjadi dan datar2 saja 🙂

    ji

    14 Februari 2010 at 12:54

    • cerita tidak selalu harus memancing emosi pembaca…..

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:33

  16. nanggung amat critanya….

    wahyu

    16 Februari 2010 at 22:54

  17. Ya setiap orang kan seleranya berbeda-beda tapi kalau menurut saya sih cerpennya bagus tapi untuk di muat di kompas masih terlalu setandarlah…

    sumbangsih

    18 Februari 2010 at 15:41

  18. Belum lagi ia selesai membersihkan kamar kos itu, seorang anak kos perempuan berlari menghampirinya. ”Bu, ada berapa anggota polisi di teras.”

    aku rasa dialog di atas ada yang keliru. Ibu Rubiah tidak tahu kalau polisi datang, tapi, dialog anak kos ‘berapa’ seolah-olah Ibu Rubiah sudah tahu polisi datang.
    Mungkin, penulis keliru. ‘berapa seharusnya beberapa’.

    Zul Masry

    18 Februari 2010 at 21:15

    • itu bisa diedit, apalagi hanya beda 2 huruf, bisa saja editornya yg keliru. Versi cetaknya bagaimana?
      Kalo terpilih jadi salah satu cerpen terbaik Kompas tahun ini, di bukunya tahun depan bisa diedit

      Cinti

      21 November 2010 at 14:14

  19. anak SD bisa nulis cerpen kayak gini. saya kasih nilai K

    Buruh SD

    4 Maret 2010 at 22:47

  20. asyik juga kadang baca yg sederhana tapi jelas…he..he…he

    lia

    6 Maret 2010 at 00:30

  21. Teman saya bilang ilustrasi cerpen Kompas makin bagus, cerpennya makin jelek. Itu gak benar-benar betul sih, tapi cerpen bung Remmy ( Pimpro Mimbar Penyair Abad 21 di pertengahan 90-an yang fenomenal itu )memang jelek kok. Mau dibilang apa? Seadanya tapi berbicara hal yang besar, ide besar tapi penggarapannya nanggung.

    Kiki

    9 Maret 2010 at 13:38

    • Wah, galak juga nih Kiki. Kiki siapa ya? Tapi sudah baca kan? Mudah-mudahan kamu jadi penulis cerpen yang baik juga ya? salam….

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:22

  22. yang bisa aku tangkap dari cerpen ini kayaknya::

    “perubahan”

    betapa waktu bisa membalikkan non revolusioner yang dianggap musuh negara menjadi revolusioner (pd masa kini).. penulis sedang berusaha mengungkapkan “perubahan” ini.. yaa semacam pertanyaan gitu..

    tapi jujur, cerita ini dimana klimaksnya.. yang aku tangkap justru latar belakang Bu Rubiah.. padahal aku lebih tertarik ke tokoh Nirwan.

    kalau dijadikan cerita bersambung, tulisan ini pas untuk menarik orang2 untuk terus membacanya.. tapi..ini terlalu polos kalau dijadikan cerpen..

    ulul ilmi

    17 Maret 2010 at 23:32

  23. Saya tersenyum membaca berbagai komentar di ruang kritik ini. Ada yang mengeritik dengan nama tidak lengkap, tetapi ada juga yang lengkap. Dan saya tidak tahu, apakah para komentatornya penulis juga atau hanya sekedar melontarkan kritik.

    sedikit catatan, karena saya sering menulis kritik dan perkembangan cerpen, cerpen sastra bukan cerpen pop yang harus ada klimaksnya. Saya juga pernah menulis cerpen di majalah anita, gadis dan lainnya yang berbau pop dan tahu persis bagaimana menulis pop sehingga membuat pembaca terharu. Klimaks. Tetapi sastra tidak seperti itu. Bisa saja sebuah cerita berjalan datar dan seperti tanpa plot atau juga tanpa karakter. Bisa tampak sederhana, tetapi sebenarnya tidak sederahana.

    Gerson Poyk pernah mengatakan, menulis cerpen surealis atau absurd sangat mudah. Tapi menulis cerita konvensional lebih sulit.

    Saya sudah pengalaman menulis yang surealis dan absurd-absurd diberbagai media dan bisa dikerjakan hanya dalam beberapa menit. Tetapi menulis yang realis dan detil, juga singkat, tidak sederhana. Dan Redaksi Kompas Minggu, tentu mempunyai kebijakan sendiri menurunkan sebuah cerpen.

    Salam….

    Remmy Novaris DM

    8 April 2010 at 02:04

    • seperti cerita di film dan sinetron tentu berbeda cara menyampaikannya.kalau sinetron…dari tidur,buka mata, berjalan ke kamar mandi,pakai baju,terus sarapan terus berangkat ke kantor. tapi kalau di film, baru bangun tidur tahu2 sudah di kantor. itulah bedanya dengan kompas. saya ibaratkan baca cerpen di kompas seperti nonton film.tapi kalau baca di majalah gadis seperti nonton sinetron. ADA YANG SETUJU?

      hapex

      26 September 2012 at 13:39

  24. Setelah membaca cerpen ini,yang di timbulkan adalah sebuah kesedehanaan yang mendetail.Tapi saya sebagai penulis cerpen pemula dan mengirim jarang dimuat, sangat suka dan bisa banyak belajar tentang masalah sosial yang kerap terjadi di masyarakat dalam cerpen ini.Salam kenal buat bung Remmy…suatu hari saya akan kirim cerpen saya yang sederhana hehehe …biar bisa di muat di kompas…semoga saja!!!

    pujiono Slamet [Tukang sapu ]

    12 Juni 2010 at 20:09

  25. teman2, saudara2, ibu bapak mungkin ada sesuatu yang lain yang dipertimbangkan oleh kompas…hee husnudzon aja dah…

    dewi ma'rufah

    9 Juli 2010 at 12:46

  26. gak mutu

    spears

    28 September 2010 at 13:13

    • Wah, kritik tanpa deskripsi. pasti belum pernah nulis cerpen…. hehehe…..

      remmy

      21 Oktober 2010 at 13:42

  27. ikh ampun dech cerpennya gitu bgt, kurang menarik tpi kok di munculin masih mending cerpen gua!

    si ganteng

    24 November 2010 at 13:49

  28. tolonggggggggg saya gak bisa nulis cerpen
    padahal ada tugas

    (‘:_:’)

    ikbal sman 4 cirebon

    8 September 2011 at 04:25

  29. ternyata para kritikus, para pembaca, anda2 sekalian yang mengkriti lebih hebat dari pengarang cerpen ya….???? kalo emang anda2 bisa kenapa tidak anda saja yang nulis cerpen trus di publikasikan…

    tyson iqbal

    9 November 2011 at 10:56

  30. yang bisa menilai isi cerpen ini hanya orang2 cerdas saja…

    tyson iqbal

    9 November 2011 at 10:58

  31. Halah prut..
    Jelek ah.. G suka g suka g suka..
    Wleeeeek.. 😛

    Pono

    27 April 2014 at 01:06


Tinggalkan Balasan ke Raga Batalkan balasan